Kamis, 13 Desember 2018

AKSIOLOGI DAN PENERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN

  Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu axios dan logos. Kata axios berarti nilai sedangkan logos berarti teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.





Aksiologi Sains

  • Kegunaan Pengetahuan Sains
     Secara umum teori berarti pendapat yang beralasan, sekurang-kurangnya kegunaan teori Sains ada tiga yaitu sebagai alat membuat eksplanasi, menurut teori Sain anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya; sebagai alat peramal, saat membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu, dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan atau prediksi; sebagai alat pengontrol.

  • Cara Sains Menyelesaikan Masalah
    Adapun caranya adalah mengidentifikasi masalah, mencari penyebab terjadinya masalah tersebut, mencari cara untuk memperbaiki masalah

  • Netralitas Sains
Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.




Aksiologi dan Pendidikan

  • Hubungan Antara Aksiologi dengan Pendidikan
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan,menyelidiki hakikat nilai,serta berisi mengenai etika dan estetika.Penerapan aksiologi dalam pendidikan misalnya saja adalah dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial dan kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimanakah etika atau sikap yang baik itu,selain itu adalah mata pelajaran kesenian yang mengajarkan mengenai estetika atau keindahan dari sebuah karya manusia.  Dasar Aksiologis Pendidikan adalah Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.

  • Aksiologi Filsafat Pendidikan
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends).

Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Terdapat dua kategori dasar aksiologis; 1) objectivism dan 2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.

Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif.

Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.

Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.

Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.

Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.

Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu; filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan; Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.




Penerapan Aksiologi dalam Pendidikan

   Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Kattsoff, 1992:327)  atau studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (Sarwan, 1984:22). Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:

   Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan potensinya.

   Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi yang tercipta secara edukatif.

   Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya.

  Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.

    Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu.

   Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pendidikannya dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.

    Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang. Menurut Robert Hutchkins manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi agar seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.

   Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.

  Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar